الثلاثاء، 8 يناير 2013


Sosial Budaya dalam Praktik Perawatan Kehamilan dan Persalinan
Background : Reproductive health is focusing on the reproductive aspect of women which are considerable problems on sexuality and reproduction, such as ante-natal care, delivery process, postpartum treatment etc. Maternal mortality rate and infant mortality rate are some indicators of reproductive health, where in Indonesia those rate are still high rather than some neighboring countries. Previous research showed that socio-cultural and demographic factors influence the high maternal and infant mortality rate. The purpose of this study was to describe socio- cultural aspect towards ante-natal care, delivery process and post –partum treatment among Javanese.
Method: The design study was observational with cross sectional approach. The research took place in Jepara Region, Central Java. The population study was women in reproductive age and total number of the sample was 60 women. Data were collected through questionnaire using in – depth interview guide. Socio- cultural factors data were gathered through in-depth interview with health providers, such as doctors, midwives as well as religious people and community leader.
Results: This study found that the majority of the respondents (96.7%) did antenatal care, assisted by doctors or midwifes, accompanied by their husband (76.6%), done every month (48.3%). Midwife is health provider who was mostly chosen by respondents furthermore by traditional birth attendance (18,4%). The accompanying reasons were the distance between the home and the location, skill and the complete of the apparatus. Most of the respondent (93%) accompanied by their husband during birth process. During post- partum period, they took traditional medicine and also massage. This study found that there is no special food has been consumed during antenatal and post-partum period. Ritual activities have done such as mitoni (munari), krayanan (brokohan), resikan (walikan) and kekahan (aqiqah) since pregnancy until post-partum period. (Keywords : Antenatal care, Reproductive health, Postpartum.)
PENDAHULUAN
Konsep Kesehatan Reproduksi yang diperkenalkan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Mesir, tahun 1994 yang menekankan kondisi kesehatan yang lengkap tidak sekedar terbebas dari penyakit atau kelemahan fisik, akan tetapi meliputi aspek mental dan sosial, yang berkorelasi dengan bekerjanya fungsi sistem serta proses reproduksi.
Bertolak dari konsep kesehatan reproduksi tersebut, sasaran program kesehatan reproduksi difokuskan pada wanita sepanjang masa reproduksinya atau wanita usia subur, yaitu sejak wanita tersebut mendapatkan menstruasi pertama sampai dengan masa menopause (antara 15 tahun hingga 49 tahun), baik menikah maupun tidak menikah. Program-program kesehatan reproduksi meliputi pendidikan kehidupan keluarga, pencegahan kehamilan remaja, pencegahan penyakit menular seksual, perawatan kehamilan, pertolongan persalinan, perawatan nifas, pertolongan bayi baru lahir, dan keluarga berencana yang meliputi pemakaian alat kontrasepsi, peningkatan kemandirian ber KB dan kegiatan-kegiatan yang mendukung Program Pembangunan Keluarga Sejahtera (BKKBN, 1998)
Beberapa kendala masih ditemui di dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi antara lain adanya realita tentang kurangnya kesatuan pengertian tentang kesehatan reproduksi, kurang tersedianya infra strukkur di setiap kabupaten/ kota, adanya variasi geografis, aspek sosial budaya serta tingkat sosio ekonomi yang relatif terbatas (BKKBN, 1998).
Salah satu indikator kurang berhasilnya pro- gram kesehatan reproduksi, ialah relatif masih tingginya angka kematian ibu melahirkan (AKI). Angka kematian bayi baru lahir (IMR) menurut perkiraan SDKI tahun 1997 yaitu 25 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2001) Angka kematian ibu (AKI) menurut SKRT tahun 1986 adalah 450/ 100.000 kelahiran hidup mengalami penurunan yang lambat menjadi 373/ 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995 dan turun lagi menjadi 51/ 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2001. Angka ini 3 – 6 kali lebih besar dari negara- negara di ASEAN dan 50 kali lebih besar angka di negara maju. Indonesia menetapkan target penurunan AKI dari 115/ 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 75/ 100.000 pada tahun 2015 dan penurunan angka kematian bayi (AKB) menjadi 35/ 1000 kelahiran hidup di tahun 2015. (Depkes RI, 2002)
Untuk mengatasi masalah tersebut maka pemerintah menetapkan target pada tahun 2010 yaitu: 1).menurunkan angka kematian ibu menjadi 125/100.000 kelahiran hidup, 2). menurunkan angka kematian neonatal menjadi 15/1000 kelahiran hidup serta target proses dan output diantaranya adalah meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan trampil menjadi 85% (Depkes RI, 2004). Untuk mencapai tar- get tersebut, strategi yang diterapkan yaitu Making Pregnancy Safer (MPS) yang mempunyai visi : semua perempuan di Indonesia dapat menjalani kehamilan dan persalinan dengan aman serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat (Depkes RI, 2004).
Empat pilar strategi utama MPS yang konsisten dengan Indonesia Sehat 2010 yaitu :
1). meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir berkualitas yang cost effective dan berdasarkan bukti-bukti yang didukung dengan 2). membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektoral dan mitra lainnya untuk melakukan advokasi guna memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta meningkatkan koordinasi perencanaan dan kegiatan MPS, 3). mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan untuk menjamin perilaku sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir, 4). mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Depkes RI, 2001)
Tingginya angka kematian maternal yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan dipengaruhi oleh faktor- faktor di dalam dan di luar kesehatan / medis. Pelayanan obstetri yang tepat guna dan memadai bila tersedia belum menjamin pemanfaatannya oleh masyarakat karena adanya hambatan jarak , biaya dan budaya. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam pengenalan tanda bahaya dan pencarian pertolongan profesional seringkali belum memadai. Di banyak negara berkembang masih ditemukan hambatan akses yaitu berupa ketidakberdayaan wanita dalam pengambilan keputusan sementara peran suami, ibu atau mertua sangat dominan dan banyak faktor lain yang menyebabkan keterlambatan dalam rujukan.
Secara umum dikenal tiga jenis terlambat yaitu :1).terlambat dalam mengambil keputusan merujuk yang merupakan langkah pertama untuk menyelamatkan ibu yang mengalami komplikasi obstetri, 2). terlambat dalam mencapai fasilitas kesehatan yang dipengaruhi oleh jarak, ketersediaan dan efisiensi sarana trasnportasi serta biayanya, 3). terlambat dalam memperoleh pertolongan di fasilitas kesehatan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor : jumlah dan ketrampilan tenaga kesehatan, ketersediaan peralatan, obat, transfusi darah dan bahan habis pakai serta manajemen dan kondisi fasilitas pelayanan (Depkes RI, 1999).
Proses reproduksi berawal dari sebelum terjadi konsepsi, sebelum terjadi pembuahan oleh sperma terhadap sel telur, kemudian terjadi konsepsi, hamil, lahir, bayi, remaja, usia produktif dan usia lanjut. Dengan demikian kesehatan reproduksi dimulai sejak masa remaja hingga usia lanjut (Muhammad, 1996). Untuk menjamin terjadinya kesehatan reproduksi yang optimal perlu pelayanan kesehatan reproduksi yang berkesinambungan, sejak remaja hingga usia lanjut.
Kesehatan reproduksi kaum remaja ditekankan pada kegiatan pendidikan kehidupan keluarga, pencegahan kehamilan remaja dan pencegahan penyakit menular. Sedang pada masa perkawinan dalam kondisi produktif kesehatan reproduksi yang perlu diupayakan meliputi perwatan kehamilan, pertolongan persalinan, perawatan bayi baru lahir, perawatan nifas dan praktek keluarga berencana, dan upaya-upaya ini sering disebut sebagai safe-motherhood. Pada masa usia lanjut, kesehatan reproduksi berkaitan dengan upaya skrining keganasan tumor dan menopause (Muhammad, 1996).
Kondisi sosial budaya (adat istiadat) dan kondisi lingkungan (kondisi geografis) berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi. Situasi budaya dalam hal ini adat istiadat saat ini memang tidak kondusif untuk help seeking behavior dalam masalah kesehatan reproduksi di Indonesia (Muhammad, 1996). Hal ini dikemukakan berdasarkan realita, bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya sudah terbiasa menganggap bahwa kehamilan merupakan suatu hal yang wajar yang tidak memerlukan antenal care. Hal ini tentu berkaitan pula tentang pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya antenal care dan pemeliharaan kesehatan reproduksi lainnya.
Tingginya angka kematian bayi dan ibu bersalin serta faktor penyebabnya baik dari segi kesehatan/ medis maupun diluar kesehatan mendorong penulis untuk meneliti bagaimanakah praktek perawatan kehamilan, persalinan dan nifas serta deskripsi sosial budayanya. Karena luasnya bidang kajian kesehatan reproduksi maka dalam tulisan ini dibatasi pada masa kehamilan yaitu perawatan kehamilan, kelahiran (persalinan) bayi dan masa nifas (perawatan nifas).


tulisan ini juga dapat dibaca pada blog saya yang lain (klik).

















الثلاثاء، 1 يناير 2013

TUGAS KOMPUTER LAPORAN TAHUNAN


  CICI FAZRIKA 1.CV.xls

Penyakit Anoreksia Ternyata Mematika



anoreksia ternyata mematikan - penyebab dan komplikasi anoreksiaPenyakit anoreksia nervosa (AN) adalah sebuah gangguan makan yang ditandai dengan penolakan untuk mempertahankan berat badan yang sehat dan rasa takut yang berlebihan terhadap peningkatan berat badan akibat pencitraan diri yang menyimpang.
Penyakit anoreksia sering dialami oleh kaun hawa, awal terjadinya anoreksia biasanya karena keinginan memiliki tubuh yang ramping sehingga mereka menolak makanan atau asupan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Penyakit anoreksia selama ini selalu dipandang sebagai suatu penyakit yang diakibatkan oleh faktor psikologis dan juga sosial seperti kelebihan berat badan yang membuatnya malu untuk berteman dengan siapapun.

Penyebab penyakit anoreksia

Penyebab Genetik
Kebanyakan ahli medis setuju bahwa tidak ada satu penyebab tunggal penyakit anorexia. Anorexia terjadi akibat perpaduan dari faktor genetik, psikologis, dan lingkungan. Studi pada anak kembar dengan DNA identik menunjukkan bahwa seseorang memiliki peluang hingga 50% terkena anorexia jika memiliki anggota keluarga yang merupakan penderita anorexia. Jadi, jika salah satu kembar menderita anorexia, ada kemungkinan 50% saudara kembarnya juga akan mengalami anorexia. Penelitian menunjukkan bahwa komposisi genetik tertentu memiliki efek pada pola makan. Studi lain menunjukkan bahwa serotonin memiliki efek pada perkembangan anorexia. Ketidakseimbangan jumlah serotonin di otak terbukti menyebabkan beberapa gangguan termasuk depresi klinis, kecemasan, dan anorexia.
Penyebab Lingkungan
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa faktor sosial dan lingkungan memiliki kontribusi terhadap terjadinya penyakit anorexia. Tekanan sosial dari media yang sering menggambarkan aktris berbadan sangat langsing turut berkontribusi terhadap terjadinya penyakit anoreksia.
Aktris, musisi, dan model langsing bahkan cenderung kurus memicu ilusi perihal berat badan ideal. Hal ini mendorong terciptanya obsesi tidak sehat untuk meniru kelangsingan mereka dengan mengorbankan kesehatan dan keselamatan diri sendiri. Kondisi ini diperburuk dengan citra di masyarakat yang menganggap orang dengan berat badan diatas normal sebagai tidak cantik atau tidak modis.

Tanda dan gejala penyakit anoreksia

Penyakit anoreksia adalah penyakit yang memiliki dampak fisik, psikologis, dan budaya. Perilaku khas penderita anoreksia adalah melaparkan diri untuk mencapai berat badan ‘ideal’ meskipun sebenarnya mereka telah sangat kurus. Berikut tanda dan gejala anoreksia:
  • Berat badan penderita anoreksia menurun minimal 15% dari berat badan sebelumnya, meskipun telah memiliki berat badan yang sangat rendah, tetap percaya bahwa mereka masih terlalu gemuk. Pemikiran delusi semacam ini adalah tanda utama anoreksia nervosa.
  • Penderita penyakit anoreksia cenderung menyendiri untuk menyembunyikan gejala-gejala penyakitnya. Mereka umumnya merasa malu dengan tubuh mereka.
  • Karena tekanan fisik, penderita anoreksia umum mengalami perasaan gelisah, depresi, dan mudah tersinggung.
  • Takut akan kegemukan (obesitas)
  • Perhatikan adanya gangguan pola makan dan rutinitas berolahraga dan amati adanya kecenderungan obsesif. Penderita anoreksia akan mengurangi asupan kalori dan berolahraga pada level ekstrim untuk menurunkan berat badan.
  • Beberapa kepribadian seperti introvert (tertutup), perfeksionisme, obsesif, rendah diri, dan kesulitan mengekspresikan emosi rentan terhadap anoreksia.
  • Penderita penyakit anoreksia cenderung tertutup dan menghindari pergaulan sosial untuk menutupi masalah mereka diketahui orang lain.
  • Siklus menstruasi terhenti
Tips mencegah penyakit anoreksia
  • Ajari anak bahwa makan dan olahraga penting untuk kesehatan, bukan untuk memiliki tubuh “sempurna”.
  • Jangan meminta anak melakukan diet, kecuali anak tersebut mengalami kelebihan berat badan yang signifikan.
  • Untuk membantu mencegah anorexia, pastikan anak mengkonsumsi makanan yang cukup serta tidak melakukan olahraga pada tingkat ekstrim.
  • Berkomentar positif terhadap bentuk tubuh seseorang.

Komplikasi akibat penyakit anoreksia

Penderita penyakit anoreksia memiliki peluang untuk mengalami berbagai komplikasi, seperti kematian, anemia, jantung bermasalah, tulang rapuh, paru-paru bermasalah, menstruasi terganggu bagi perempuan atau testosteron berkurang bagi pria, gangguan pencernaan, abnormalitas kadar elektrolit tubuh, serta gangguan ginjal.